Jumat, 06 Desember 2013

: MATENG WIT Waktu saya masih kecil, di rumah ada sebuah ruang kecil di sebelah dapur. Di dalam ruang yang biasa kami sebut gudang beras, ada sebuah gentong berukuran besar di dekat pintu. Gentong itu tempat menyimpan beras. Orangtua saya dengan delapan anak, sekali beli beras 100 kilo. Buanyak sekali. Karung beras segede saya, disandarkan di dekat tembok dapur. Lalu beras akan dipindahkan ke dalam gentong, setelah sebelumnya ditampi untuk dibuang kotoran & kerikil. Kalau akan memasak nasi, simbok pembantu mengambil beras dari gentong. Tidak hanya itu saja fungsi beras di dalam gentong. Kalau ada buah yang belum matang, misalnya buah mangga atau srikaya, buah buah itu akan dimasukkan ke dalam gentong. Diperam, dibiarkan beberapa hari sampai matang. Saya biasa mencari & mengorek mangga talijiwa atau srikaya yang mulai matang di antara timbunan beras. Diambil satu, muncul satu lagi. Diambil lagi, muncul lagi. Seru, kayak kantong ajaib Doraemon. Kini hal itu tidak mungkin saya lakukan, karena stok beras di rumah tidak sebanyak dulu. Dengan tiga anak & pola makan nasi yang makin sedikit, istri saya beli beras paling paling cuman 5 kilo. Dulu pernah beli sekaligus 25 kilo, tapi terlalu lama disimpan malah timbul kutu. Stok beras yang tak seberapa dimasukkan ke dalam kotak plastik kecil. Kotak plastik dimasukkan dalam salah satu lemari di dapur. Tidak terlihat. Kini kalau ada buah belum matang, cuman diletakkan di atas keranjang buah. Di-angin anginkan saja hingga matang. Sebuah aktivitas masa kecil telah lenyap. Memeram buah dalam gentong beras, ternyata punya dasar yang logis. Untuk menjadi matang, buah meski sudah dipetik, secara alami akan mengeluarkan gas ethylene. Gas ini membantu mempercepat proses pematangan itu sendiri. Dengan diperam dalam gentong beras, gas ethylene terperangkap di dalam - istilahnya tidak ngabar & ethylene akan berfungsi efektif. Mencampurkan buah yang matang dengan yang belum matang juga bisa dilakukan. Pisang matang jika diperam bersama mangga yang belum matang, akan mempercepat pematangan mangga itu, karena pisang matang adalah salah satu buah yang menghasilkan ethylene dalam jumlah banyak. Dalam skala besar, gas ethylene industri digunakan untuk mematangkan buah buahan yang dipetik dari perkebunan. Buah buahan dimasukkan dalam ruangan besar, lalu gas ethylene diinjeksikan. Buah pun jadi cepat matang. Hmm... Kadang kalau melihat orang orang yang terlalu emosional, kurang toleran, masih bertingkah ke-kanak kanak-an, kurang matang.... Kadang terlintas..., bisa ndak ya...??? Mereka dimasukkan gentong beras? Atau dimasukkan ruangan & diinjeksi ethylene? Biar cepat matang.... HªHŪHÁª. Ternyata proses pematangan tidak sesederhana itu. Ternyata gas ethylene hanya sebagian dari proses pematangan itu sendiri. Buah yang dipetik, tidak akan pernah matang meski disemprot, diguyur, atau diperam dalam kabut gas ethylene, jika pada saat dipetik, buah itu belum..., MASAK! Ya, buah yang dipetik, meski belum matang, tapi sudah harus masak. Not yet ripe, but must be mature. Proses ethylenisasi hanya mematangkan, tidak bisa me-masak-kan. Proses masak harus terjadi di pohon tempat ia bergantung. Proses matang bisa di tempat lain. Beli pisang atau mangga boleh saja hijau warnanya, asal SUDAH MASAK saat dipetik. Beri waktu secukupnya, ia akan matang dengan sendirinya. Anak anak boleh matang di luar, tapi harus masak di rumah. Dari rumah anak anak belajar & menyerap nilai kehidupan. Moral & etika, toleransi & empati adalah proses pemasakan yang harus terjadi. Bisa mengerti & bisa membedakan, mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, mana yang buruk. Jika anak anak sudah masak, mereka siap dilepas dimana saja. Proses pematangan akan terjadi - sesuai kodrat. Omong omong, enaknya anak anak dibiarkan mateng di luar..., atau mateng wit saja? [Copas tulisan Evy Ghozali dari Bp.H.Halim,April 2013]